Catatan Perjalanan :
Keliling
Setengah Amerika
34.
Menyusuri Ladang Jagung Iowa
Keluar
dari kota Madison pada Rabu siang itu, 12 Juli 2000, saya kembali
berada di jalan bebas hambatan I-90 menuju ke barat. Sekitar dua
jam kemudian, saya tiba di kota La Crosse. La Crosse hanyalah
sebuah kota kecil di sisi barat wilayah negara bagian Wisconsin
yang berpenduduk sekitar 51.000 jiwa dan terletak pada ketinggian
sekitar 195 m di atas permukaan laut. Kota ini terletak persis di
pinggir timur sungai Mississippi yang merupakan batas antara
wilayah negara bagian Wisconsin dan Minnesota.
Anak saya
heran, kok sungai Mississippi juga ada di situ, yang berarti di
ujung utara Amerika bagian tengah. Selama ini yang diketahuinya
bahwa sungai Mississippi itu adanya di New Orleans, yang berarti
di ujung selatan Amerika bagian tengah. Lebih heran lagi ketika
saya beritahu bahwa sungai Mississippi yang ada di situ dan di
New Orleans itu sama.
Saya sendiri
sebenarnya juga baru menyadari bahwa sungai yang ketika di SMP
dulu saya hafal namanya sebagai sungai terbesar dan terpanjang di
Amerika ternyata memang membelah daratan negara Amerika. Sungai
Mississippi bermata air di danau Itasca di kawasan Hutan Taman
Nasional Chippewa di sisi utara negara bagian Minnesota dan
bermuara di Teluk Mexico di pantai selatan negara bagian
Louisiana, atau tepatnya di sebelah selatan kota New Orleans.
Malahan
sungai ini sebenarnya tidak melintasi negara bagian Mississippi,
kecuali menjadi batas antara negara bagian Mississippi di sebelah
timur sungai dan Louisiana serta Arkansas di sebelah barat
sungai. Membentang dari selatan ke utara, di sisi timur sungai
Mississippi terletak negara bagian Mississippi, Tennessee,
Kentucky, Illinois dan Wisconsin. Sedangkan di sebelah baratnya,
Louisiana, Arkansas, Missouri, Iowa dan Minnesota.
***
Di kota kecil
La Crosse ini saya masuk ke kotanya untuk mencari restoran Cina
yang biasanya menyediakan menu nasi. Ya, maklum. Dalam perjalanan
panjang semacam ini acara makan tiga kali sehari sering-sering
kacau jadwalnya. Agar kekacauan jadwal makan ini tidak berakibat
runyam terhadap perut, maka ganjal perut mesti
mantap. Salah satunya ya diganjal dengan makanan yang mengandung
nasi itu tadi. Akhirnya saya temukan juga restoran Cina.
Sambil
beristirahat di depan restoran, saya cermati lagi rute perjalanan
hari itu yang ternyata masih akan panjang. Saya lalu menghubungi
rekan di Columbia, Missouri, via tilpun dan memberitahukan bahwa
saya tidak dapat memenuhi rencana semula untuk mencapai Columbia
malam nanti, melainkan baru besok siangnya. Saat itu sudah
sekitar jam 4:30 sore.
Meninggalkan
kota La Crosse, menyeberang sungai Mississippi, saya sudah berada
di negara bagian Minnesota yang mempunyai nama julukan sebagai
North Star State dengan ibukotanya di kota St. Paul.
Minneapolis yang terletak berdampingan dengan St. Paul adalah
kota terbesar di Minnesota. Tepat di sisi barat sungai
Mississippi, saya lalu mengambil exit dan menuju ke jalan
State Road (SR) 16 ke arah selatan.
Rute
jalan dua lajur dua arah ini akan melintasi wilayah perbukitan
menuju ke Taman Negara Forestville/Mistery Cave dengan melewati
beberapa kota kecil hingga nantinya tiba di kota Spring Valley.
Rute jalan ini memang tidak melintasi pegunungan tinggi dan rute
jalannya pun tidak terlalu berkelok tajam, namun di sepanjang
rute ini kami temui pemandangan alam sore hari yang cukup enak
dinikmati sambil melaju dengan kecepatan sedang.
Di
kota Spring Valley yang berpopulasi sekitar 2,500 orang dan
terletak pada ketinggian 400 m di atas permukaan air laut, saya
berhenti lagi karena anak saya sudah kebelet pipis. Dari
kota ini selanjutnya saya menuju ke arah selatan mengikuti jalur
jalan lurus Highway 63 (Hwy 63) yang nanti akan membelah wilayah
negara bagian Iowa.
Tidak
berapa lama kemudian saya tinggalkan negara bagian Minnesota dan
masuk ke wilayah Iowa. Negara bagian Iowa mempunyai nama julukan
sebagai Hawkeye State, dengan ibukotanya di kota Des
Moines. Iowa adalah negara bagian ke-28 yang saya kunjungi hingga
perjalanan di hari keduabelas ini, setelah sebelumnya melintasi
negara bagian Minnesota.
Menyebut
nama Iowa, maka umumnya orang Amerika akan mengaitkan nama itu
dengan produksi biji-bijian, terutama jagung dan kacang tanah.
Iowa memang terkenal kaya akan hasil pertanian dan peternakannya.
Tidak mengherankan, jika melihat bahwa 93% dari wilayah Iowa ini
merupakan areal pertanian dan peternakan.
Masyarakatnya
yang tinggal di perkotaan hanya sekitar 45% saja, selebihnya
tinggal di wilayah pedesaan. Bandingkan dengan rata-rata penduduk
Amerika adalah 80% yang tinggal di perkotaan. Maka sudah umum dan
bahkan menjadi kebanggan di sebagian kalangan masyarakat Iowa
(yang disebut Iowan) untuk hidup dan bermata pencaharian sebagai
petani.
Secara
nasional, Iowa adalah produsen utama jagung, padi dan daging babi
bagi Amerika. Bahkan produksinya juga mensuplai kebutuhan dunia.
Dari hasil peternakannya, Iowa merupakan penghasil telur kedua
tertinggi di Amerika. Tahun 1999 yang lalu Iowa menghasilkan 512
juta telur. Jika jumlah penduduk Iowa pada tahun yang sama
sekitar 2.869.000 orang, maka rata-rata setiap tahun orang Iowa
bertelur lebih dari 178 butir. Bukan main banyaknya
telurnya orang Iowa ini!
Karena
itu ada anekdot, melihat produksi telurnya ditambah produksi
sosis dan daging babi yang mensuplai kebutuhan Amerika, maka
mestinya negara bagian Iowa ini lebih pas dijuluki sebagai
Breakfast State.
Di
Amerika, yang disebut petani adalah petani pemilik dan sekaligus
penggarap (tanah atau ternak). Agak berbeda dengan sebutan petani
di Indonesia, yang seringkali masih disebut lagi menjadi petani
kecil atau peternak besar yang berkonotasi sebagai golongan
ekonomi lemah atau ekonomi kuat. Belum lagi, di Indonesia ada
sebutan petani pemilik (tanah) dan petani penggarap (tanah).
Hal
ini mengingat bahwa di Indonesia ini sangat banyak orang yang
memiliki tanah pertanian di mana-mana tanpa pernah sedikitpun
pernah menyentuhnya, bahkan terkadang melihat lahannya pun belum
pernah. Di sisi lain ada petani yang pekerjaannya hanya menggarap
tanah pertanian milik orang lain tanpa pernah memiliki lahan
sendiri. Kalaupun punya tanah, luasnya tidak seberapa.
Kalau
di Iowa, rata-rata seorang petani memiliki lahan pertanian seluas
sekitar 139 ha, maka di Indonesia kebanyakan petani hanya
memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Saya kurang tahu angka
persisnya untuk petani tanaman pangan, namun sebagai gambaran
sekitar 50% petani tanaman hortikultura adalah pemilik lahan
kurang dari 0,5 ha.
Karena
itu ada perbedaan kebanggaan antara sebutan petani di Amerika dan
Indonesia. Kalau di Amerika disebut petani, maka ia benar-benar
seorang petani professional yang identik dengan orang desa yang
ahli bertani (termasuk berternak) dan --- biasanya --- kaya.
Kalau di Indonesia disebut petani maka ada beberapa kemungkinan,
antara lain : Pertama, petani kecil yang mempunyai lahan terbatas
dan hasilnya pas-pasan (malah seringkali tekor) buat menyambung
hidup. Kedua, petani penggarap yang tidak memiliki lahan tetapi
memperoleh upah atau pembagian tertentu dari hasil tanah yang
digarapnya.
Ketiga,
petani pemilik tanah yang sama sekali tidak tahu soal-menyoal
pertanian tapi kalau dilapori hasil panennya tidak memuaskan suka
sekali menyalahkan pemerintah, cuaca, hama, penggarap atau
tetangganya yang suka menutup saluran air atau malah membanjiri
sawahnya dengan air.
Agaknya
pemerintah menjadi pihak yang paling enak untuk
disalahkan. Terlebih di era reformasi yang tidak
reform-reform ini, saat mana para oknum pemerintah jadi
kelewat asyik dengan soal-soal besar sehingga soal-soal kecil
menjadi terabaikan. Bisa saja para oknum pemerintah itu tidak
sependapat dengan penilaian ini, tapi siapa yang mendengarkan
teriakan petani-petani kecil yang tak berdaya menerima kenyataan
harga padinya jatuh karena ternyata harga beras impor lebih
murah.
Atau,
petani kecil yang kebingungan memilih pestisida yang asli karena
saking banyaknya pestisida aspal (asli tapi palsu) yang beredar.
Kalau sudah demikian, apa ya masih tega untuk
berhalo-halo di depan petani kecil lalu bicara soal
intensifikasi dan swa-sembada pangan. Alih-alih mikir tentang
ekstensifikasi, mendingan tanahnya dijual buat naik haji.
***
Itulah
negara bagian Iowa yang sore itu saya lintasi dari ujung utara
menuju ke ujung selatan melalui jalan Hwy 63. Rute sepanjang 74
mil (118 km) dari kota Spring Valley menuju Waterloo merupakan
jalur jalan raya yang lurus utara-selatan. Rute ini melintasi
banyak persimpangan jalan-jalan kecil, melewati beberapa kota
kecil yang sepi yang berpopulasi beberapa ribuan saja, selebihnya
adalah areal pertanian dan beberapa areal peternakan.
Di
sana-sini terdapat bangunan-bangunan silo (tempat penyimpanan
hasil pertanian) yang bentuknya seperti silinder cerobong asap.
Sekitar jam 18:30 melintasi rute ini, saya masih melihat petani
yang membajak lahan tanahnya. Tidak menggunakan jasa kerbau
tentunya.
Seluas
mata memandang di bawah cuaca sore yang sangat cerah, hanyalah
ladang-ladang jagung di sebelah menyebelah jalan membentang di
wilayah dataran rendah yang nyaris tak tampak adanya perbukitan.
Sebenarnya pemandangan yang membosankan. Namun menjadi terasa
khas karena pemandangan semacam ini belum pernah saya jumpai di
wilayah-wilayah lain di Amerika.
Inilah
ladang-ladang jagung Iowa yang pada tahun 1997 ada seluas 4,9
juta ha ladang berhasil dipanen. Kalau ditambah dengan 4,2 juta
ha ladang kacangnya, maka total semuanya menjadi sekitar 9,1 juta
ha ladang jagung dan kacang yang berhasil dipanen (sekitar 63 %)
dari 14,6 juta ha luas seluruh wilayah Iowa.
Untuk
sekedar tambahan ilustrasi (bukan pembanding) : Indonesia yang
luas wilayahnya lebih 191,9 juta ha, tahun lalu panen jagung,
kacang dan padi mencapai lahan hampir seluas 15,9 juta ha
(sekitar 8% dari luas wilayahnya).
Senja telah
menjelang saat saya tiba di kota Waterloo pada sekitar jam 20:00.
Sejenak saya berhenti di kota ini untuk sekedar membeli makanan
kecil sambil beristirahat. Setelah itu perjalanan panjang hari
itu saya lanjutkan dengan masih mengikuti jalan Hwy 63 ke arah
selatan, melewati sedikit kota-kota kecil lainnya.
Ladang-ladang
jagung masih membentang di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan,
meskipun kini sudah tidak terlalu nampak jelas di tengah
keremangan senja. Saya merencanakan untuk bermalam di kota mana
saja yang sekiranya enak untuk disinggahi. Anak-anakpun setuju,
karena memang selama melintasi Iowa tidak akan menemui daerah
perkotaan yang ramai. (Bersambung).
Yusuf Iskandar